BLOG'SNYA ANAK AKUNT UMB

Sabtu, 14 Mei 2011

bahan eknomi tauhid


IMPLIKASI TAUHID DALAM EKONOMI SYARIAH



SEMANGAT yang terkandung dalam terminologi ekonomi syariah atau disebut juga dengan ekonomi Islam adalah kesederhanaan dan ekonomis. Sesuai dengan namanya yang berasal dari dua kata, yaitu “al-iqtishad” dan “al-islamiy” menyiratkan pengertian adanya sikap kehati-hatian, tidak boros, pertengahan dan ekonomis dalam kehidupan. Sikap ini sesuai dengan watak dasar ajaran Islam. Al-Iqtishad menurut bahasa artinya “al-qasd”. Menurut Rafiq Yunus al-Mishriy dalam Ushul al-Iqtishad al-Isloamiy, dalam kata itu terkandung makna “al-tawassut” dan “al-i’tidal”.

Oleh sebab itu banyak sekali penghargaan ditemukan dalam al-Quran terhadap sikap dan perilaku ekonomis yang dinggap sebagai watak dan karakter suatu masyarakat yang ideal itu. Masyarakat semacam itu disebut sebagai “ummah muqtashidah” (Q.s. al-Maidah/5:66) yang bersikap tidak boros dan tidak kikir tetapi selalu mengambil sikap tengah (Q.s. al-A’raf/7:31; al-mi Isra/17:29 dan al-Furqan/25:67). Sikap tengah dan ekonomis pada hakikatnya adalah implikasi dari ajaran tauhid.

Tauhid adalah landasan filosofis yang paling fundamental bagi kehidupan manusia. Dalam pandangan dunia holistik, tauhid bukanlah hanya ajaran tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi lebih jauh mencakup pengaturan tentang sikap manusia terhadap Tuhan dan terhadap sumber-sumber daya baik manusia maupun alam sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tauhid bukan saja menanamkan keyakinan tentang ke-Esaan Allah (Q.s al-Baqarah/ 2: 163 ; al-Ikhlash/112:1-4 dll.), tetapi juga merupakan ajaran tentang “kesatuan penciptaan” (Q.s al-An’am/6:102; al-Ra’ad/13:16; Fathir/35:3; al-Zumar/39:62; al-Mu’min/40:62; al-Hasyar/59:24 dll), “kesatuan kemanusiaan” (Q.s. al-Baqarah/2:213; al-Maidah/ 5:48 dll), “kesatuan tuntunan hidup” (Q.s. Ali Imran/3:85; al-Nisa/4:125 dll.) dan “kesatuan tujuan hidup”. Baik sebagai hamba Allah (Q.s al-Taubah/9:31; al-Dzariyat/51:56) maupun khalifah Allah (Q.s al-Baqarah/2:30; al-An’am/6:165). Pengejewantahan pandangan hidup yang holistik ini di masa-masa awal Islam terlihat jelas sekali pada semua bidang kehidupan, baik pada bidang sosial politik maupun pada sosial ekonomi.

Dalam pandangan tauhid, manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sekadar trustee (pemegang amanah). Oleh sebab itu, manusia harus mengikuti ketentuan Allah dalam segala aktivitasnya, termasuk aktivitas ekonomi. Ketentuan Allah yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistis dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi juga yang bersifat teologis (uluhiyyah) dan moral (khuluqiyyah).

Penjabaran tentang implikasi ekonomis dari tauhid ini merupakan fokus utama sekaligus sebagai corak tersendiri dalam analisis ilmu ekonomi syariah. Sebagaimana diketahui dalam analisis ilmu ekonomi Islam, unit operasional terkecil bukanlah “manusia ekonomi”, (homo economicus) melainkan manusia sebagai agen langsung atau wakil Allah (khalifah) dalam proses penciptaannya.

Konsep khalifah, atau dalam pengertian pengelolaan disebut khilafah, menyediakan basis bagi sistem perekonomian di mana kerjasama dan gotong royong, atau yang disebut co-determinasi (Thoby Mutis), menggantikan kompetisi yang selama ini menjadi ciri dominan dalam proses interaksi ekonomi. Kalaupun ada, kemungkinan hanya kompetisi pada tingkat keberhasilan yang berbeda dalam memperoleh materi. Seperti juga halnya dalam konsep kepemilikan, di mana kepemilikan dalam ekonomi syariah sebenarnya hanya merupakan pemeliharaan milik Tuhan, dan bukan hak mutlak perorangan. Konsep pengelolaan berarti bahwa mereka yang berhasil memperoleh kemakmuran haruslah dilakukan tanpa mengorbankan orang lain, kemudian menggunakannya untuk menolong sesama. Kepemilikan bukan “terminal” bagi kehidupan manusia, tetapi sejatinya hanyalah sekader “transital”.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat dilihat betapa konsep tauhid dalam Islam benar-benar memberikan implikasi ekonomis dalam aktivitas ekonomi Islam. Hal ini dapat juga dilihat secara langsung dari instrumen-instrumen ekonominya seperti zakat, infaq, sadaqah, wakaf dan penolakan terhadap segala bentuk kezaliman (la tazlim wa la tuzlam), kemudharatan (la dharar wa la dhirar), kecurangan (al-thaffif), penipuan (al-ghiss), ketidak pastian (al-gharar), monopoli (al-ihtikar), spekulasi (al-maisir), riba (al-riba), yang semua pada dasarnya merupakan nilai-nilai ekonomi syariah sebagai implikasi ajaran tauhid.
PEMBELAJARAN EKONOMI BERBASIS NILAI TAUHID
Oleh : Herlan Firmansyah, S.Pd, M.Pd*)

Dominasi nilai-nilai ekonomi kapitalis-liberalis dalam tatanan perekonomian nasional tidak terlepas dari peran serta dunia pendidikan yang melahirkan pelaku-pelaku ekonomi, dunia pendidikan secara mikro yang memberikan pengaruh dalam proses pembentukan pemahaman para pelaku ekonomi diantaranya adalah satuan pendidikan atau sekolah.
Fenomena di lapangan menunjukan bahwa kurikulum pengajaran ekonomi di persekolahan cenderung lebih menekankan kepada pembentukan pengetahuan anak (kognitif), indikatornya dapat dilihat dari buku sumber yang menjadi rujukan para pendidik dan peserta didik yang lebih berorientasi kepada aspek materi (subject matter oriented), serta proses evaluasi belajar mengajar yang biasa dilakukan, baik di tingkat satuan pendidikan maupun pada tingkat regional dan nasional hanya mengukur aspek-aspek kognisi siswa dengan mengabaikan aspek afeksi. Hal tersebut sebetulnya kontra produktif dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3.
Adanya kata-kata beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam tujuan pendidikan nasional menandakan bahwa yang menjadi bahan ajar dan proses evaluasi pendidikan hendaknya bukan semata aspek kognisi, melainkan afeksi dan psikomotor dipadukan menjadi konsep yang utuh. Tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketakwaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya, semua proses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakininya.
Praktek pendidikan di persekolahan justru cenderung kurang memperhatikan esensi dari tujuan pendidikan nasional di atas, hal ini terbukti dengan kurang memadukannya nilai-nilai ketuhanan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya, ironisnya justru lebih banyak berorientasi kepada pengembangan struktur kognitif semata. Fenomena tersebut tentunya sangat bertentangan dan membuat jarak antara tujuan dan hasil pendidikan nasional semakin jauh.
Fenomena tersebut di atas, bukan hanya terjadi di lingkungan sekolah umum, melainkan juga di lingkungan sekolah yang berciri khas keagamaan yaitu Madrasah, padahal sebagai sekolah yang berciri khas keagamaan seharusnya lebih banyak mengusung nilai-nilai agama yang dijabarkan kedalam semua mata pelajaran, bahkan apabila nilai keagamaannya bersumber dari agama Islam, maka sesungguhnya Islam memiliki konsep yang jelas tentang pendidikan.
First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977 merumuskan sebagai berikut :
“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.”
Oleh karena itu, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN). Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji.
Ekonomi sebagai disiplin ilmu yang menjadi bahan ajar di sekolah, hendaknya juga dilandasi oleh nilai-nilai fundamental Islam, khususnya nilai tauhid, sehingga tidak ada dikotomi antara ilmu ekonomi yang dipahami peserta didik dengan nilai-nilai tauhid yang menjadi keyakinannya. Nilai-nilai tauhid merupakan nilai-nilai dasar sebagai nilai derivasi pertama dari nilai Illahiah yang dapat memberikan arah dan warna bagi gerak langkah manusia dalam menjalankan aktivitasnya, apabila nilai tersebut terintegrasikan kedalam semua bahan ajar di sekolah, maka gerak langkah peserta didik akan senantiasa berjalan dalam kolidor yang benar.
Ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai tauhid, rambu-rambu halal haram dan nilai-nilai etika jelas di gariskan dalam Islam sebagai pedoman agar upaya manusia dalam melakukan kegiatan ekonominya tidak menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi sesama dan makhluk lainnya. Pada dasarnya, pengajaran ekonomi syarat dengan nilai, baik itu nilai ketuhanan, filsafat, edukasi, teoritis maupun praktis. Nilai-nilai tersebut pada hakikatnya merupakan landasan dalam pengembangan dan perwujudan manusia seutuhnya. Oleh karenanya, pengajaran ekonomi bukan hanya bertujuan agar peserta didik menguasai pengetahuan semata, melainkan juga membentuk manusia yang sadar akan esksistensi dirinya sebagai makhluk Tuhan.
Nilai-nilai tauhid selayaknya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan tujuan instruksional, termasuk dalam mata pelajaran ekonomi. Pentingnya aktualisasi nilai-nilai keimanan dalam bahan ajar di sekolah ditegaskan pula oleh B.J Babibie bahwa pendidikan tanpa diikuti internalisasi nilai-nilai ketuhanan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan etika akan berjalan tanpa arah, bahkan berpotensi besar menimbulkan kerusakan di muka bumi (Pikiran Rakyat, 27 Agustu 1999).
Dengan dasar tauhid seorang peserta didik akan sadar tentang tugas dan kewajibanya sebagai seorang murid dan hamba Allah, serta akan memiliki keyakinan bahwa semua yang ada di alam ini adalah ciptaan Tuhan, semuanya akan kembali kepadaNya dan segala sesuatu yang berada dalam urusanNya, sehingga segala sikap dan tingkah laku keseharianya tidak terlepas dari jiwa dan semangat tauhidiyah, termasuk dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Integrasi nilai-nilai tauhid dalam pembelajaran ekonomi di sekolah kini menjadi keharusan dan sangat mungkin untuk dimulai, terlebih dalam praktek di lapangan, dewasa ini sedang diberlakukan kebijakan desentralisasi pendidikan yang salah satu instrumennya adalah perubahan pola pengembangan kearah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), artinya sekolah diberi keluasan merancang, mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi keunggulan lokal yang dapat dimunculkan oleh sekolah. Hal tersebut menjadi peluang bagi perumusan kurikulum sekolah, khususnya kurikulum ekonomi yang terintegrasi dengan nilai-nilai Tauhid.

Tauhid Sebagai Prinsip Tata Ekonomi Islam


Oleh : Agustianto
Sekjend Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan
Dosen Fikih Muamalah Ekonomi Pascasarjana Universitas Indonesia


Fondasi utama seluruh ajaran Islam adalah tauhid. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktivitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun  budaya. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa tauhid merupakan filsafat fundamental dari ekonomi Islam. (39 : 38 ).
Hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah.
Dalam konteks ini Ismail Al- Faruqi mengatakan, “ it was al- tauhid as the first principle of the economic order that created the first “ welfare state” and Islam that institutionalized that first socialist and did more for social justice as well as for the rehabilitation from them to be described in terms of the ideals of contemporary western societies”.

( Tauhidlah sebagai prinsip pertama tata ekonomi yang menciptakan “ negara sejahtera” pertama, dan Islamlah yang melembagakan sosialis pertama dan  melakukan lebih banyak  keadilan sosial. Islam juga yang pertama merehabilitasi (martabat) manusia. Pengertian (konsep) yang ideal ini tidak ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini ).

Landasan filosofis inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya didasarkan pada filsafat sekularisme dan materialisme. Dalam konteks ekonomi, tawhid berimplikasi adanya kemestian setiap kegiatan ekonomi untuk bertolak dan bersumber dari ajaran Allah, dilakukakan dengan cara-cara yang ditentukan Allah dan akhirnya ditujukan untuk ketaqwaan kepada Allah.
Konsep tauhid yang menjadi dasar filosofis ini, mengajarkan dua ajaran utama dalam ekonomi.
Pertama, Semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Manusia hanya sebagai pemegang amanah (trustee) untuk mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan manusia secara adil.
Dalam mengelola sumberdaya itu manusia harus mengikuti aturan Allah dalam bentuk syari’ah. Firman Allah, “Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah  dalam berbagai urusan, maka ikutilah syariah itu, Jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tak mengetahui” (QS:1Al-Jatsiyah 18)
Dengan demikian, setiap pengelolaan sumber daya dan setiap cara dan usaha mencari rezeki harus sesuai dengan aturan Allah. Demikian pula membelanjakannya seperti spending, investasi dan tabungan harus sesuai dengan syari’ah Allah. Inilah implikasi dari konsep tauhid atau teologi ekonomi Islam
Bunga (interest) yang memastikan usaha harus berhasil (untung) bertentangan dengan tawhid. Firman Allah, “Seseorang tidak bisa memastikan berapa keuntungannya besok”,(Ar-Rum : 41) Padahal setiap usaha mengandung tiga kemungkinan, yaitu untung, impas atau rugi. Lebih dari itu, tingkat keuntungan pun bisa berbeda-beda, bisa besar, sedang atau  kecil. Jadi, konsep bunga benar-benar tidak sesuai dengan syari’ah, karena bertentangan dengan prinsip tawhid.

Kedua, Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah,  dapat  memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif teologi Islam, sumber daya – sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung ( tak terbatas ) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “ Dan jika kamu menghitung – hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bisa menghitungnya”. ( QS. 14: 34 )
Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan jargon bahwa sumber daya alam terbatas ( limited ). Sedangkan dalam ekonomi Islam, sumberdaya alam banyak dan melimpah. Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan karena terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidakadilan sumber daya ( ekonomi ). Banyak sekali ayat Al- qu’an menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif dimaksudkan  untuk kehidupan manusia.
Selanjutnya konsep tauhid ini mengajarkan bahwa segala sesuatu bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, menggunakan sarana dan sumber daya sesuai syariat Allah. Aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, ekspor – impor bertitik tolak dari tauhid ( keilahian ) dan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan falah guna mencapai ridha Allah.
Kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi, maka itu tidak lain karena memenuhi perintah Allah. “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya kami dikembalikan”. (QS. Al-Mulk: 15).
Ketika memproduksi sumber daya pertanian, misalnya, seorang muslim menganggap bahwa pekerjaannya itu adalah ibadah kepada Allah. Demikian pula ketika berdagang, bekerja di pabrik atau perusahaan. Semuanya dalam bingkai ibadah kepada Allah. Makin tekun ia bekerja, makin tinggi nilai ibadah dan takwanya kepada Allah.
Tauhid dalam produksi juga mengajarkan bahwa barang-barang yang diproduksi adalah barang yang baik dan halal. Pelaku ekonomi yang bertauhid, tidak akan mau memproduksi rokok, miras apalagi narkoba serta barang-barang haram lainnya. Dalam bidang jasa, pelaku ekonomi yang bertauhid tidak akan membuka perhotelan yang penuh maksiat, hiburan (diskotik) dan wisata yang sarat kemungkaran, lokasi perjudian, pelacuran, dsb. Semua itu harus dihindarkan karena bertentangan dengan syariat Allah.
Ketika seorang muslim hendak membeli, menjual, dan meminjam,  ia selalu tunduk pada aturan-aturan syariah. Ia tidak membeli atau menjual produk dan jasa-jasa haram, memakan uang haram (riba), memonopoli milik rakyat, korupsi, ataupun melakukan suap menyuap.
Ketika seorang muslim memiliki harta dan ingin menginvestasikannya agar produktif, ia tidak akan menginvestasikannya secara ribawi di lembaga-lembaga finansial yang berbasis bunga. Ia juga tidak akan menggunakannya untuk bisnis spekulasi di pasar modal atau pasar uang (money changer dan bank devisa). Seorang muslim akan menginvestasikannya berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah seperti skim mudhabarah,   musyarakah. Dan bentuk investasi syariah lainnya.
Ketika seseorang mengkonsumsi sesuatu, ia tidak berlebih-lebihan, israf dan mubazzir, karena perilaku tersebut dilarang dalam agama Islam. (QS.17:36) Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan ( QS.17:27 ) dan serakah adalah perilaku binatang. Karena itu, dalam memanfaatkan sumber daya, harus efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.
Ketika seorang muslim mempunyai sejumlah harta, ia tidak memakannya sendiri,
karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat harta  diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat sesuai dengan aturan syariah. Masyarakat berhak untuk menerima distribusi itu.
Kekayaan etika (akhlak) ekonomi Islam dalam kegiatan ekonomi seperti yang digambarkan di atas sama sekali tidak diajarkan dalam ekonomi kapitalisme. Karena menurut faham ini, memasukkan gatra nilai etis dalam ekonomi dinilai tidak relevan.
Tawhid memiliki hubungan yang kuat dengan prinsip-prnsip  ekonomi Islam yang lain, seperti keadilan, persamaan, distribusi dan hak milik sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Cetak
E-mail

Ditulis oleh Agustianto   
Dalam pandangan Al Quran, filsafat fundamental dari ekonomi Islam adalah tauhid (39:38). Hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah.  Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya.
 Dalam konteks ini Ismail Al-Faruqi mengatakan, “It was al-tawhid as the first principle of the economic order that created the first walfare state and Islam that institution alized that first socialist more for social justice as well as for the rehabilitation from them tobe desdribed in trems of the ideals of contemporary western societes”.
 (Tauhid-lah sebagai prinsip utama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” yang pertama, dan Islamlah yang melembagakan gerakan sosialis pertama. Islam (dengan konsep tauhid) telah melakukan lebih banyak keadilan sosial dan pengembalian martabat manusia. Konsep dan pengertian yang canggih ini ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini).    
 Jadi, ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan tauhid. Landasan filosofis inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya didasarkan pada filsafat sekularisme dan materialisme.
 Konsep tauhid menjadi dasar ekonomi, dalam tataran ini, disebut teologi ekonomi Islam. Teologi ekonomi Islam yang berbasiskan tauhid tadi, mengajarkan dua pokok utama : Pertama, Allah menyediakan sumber  daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam pandangan teologi Islam, sumber daya-sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung (tak terbatas) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bias menghitungnya”. (QS. 14:34).
 Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan jargon bahwa sumber daya alam terbatas (limited). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidak adilan sumber daya (ekonomi).
 Tak terhitung banyak ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan bahwa alam dan seluruh isinya disediakan untuk kepentingan manusia. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif juga untuk kehidupan manusia.
 Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan (QS. 17:35) dan serakah adalah perilaku binatang. Karena itu, dalam memanfaatkan sumber daya, harus efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.
 Berdasarkn prinsip tersebut, maka pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang merugikan generasi mendatang. Misalnya mengeksploitir sumber minyak lalu meninggalkan sumurnya kering sepanjang satu generasi, atau menjadikan lahan kering kerontang dan menguras habis barang-barang tambang yang menjadi jatah generasi mendatang karena alasan kemakmuran saat ini atau mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
 Perbuatan memutlakkan waktu sekarang, tanpa memikirkan masa depan, termasuk bentuk hubungan dominasi dan eksploitatif. Hal itu sama saja dengan melupakan prinsip bahwa setiap individu dan masyarakat adalah bagian dari keseluruhan umat manusia. Tidak seorangpun, bahkan pemerintah sekalipun, berhak mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan satu generasi tertentu.  
 Kedua, Tauhid sebagai landasan ekonomi Islam bermakna bahwa semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Hanya Allah yang mengatur segala sesuatu, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, sistem dan perolehan rezeki. Realitas kepemilikan mutlak tidak dapat dibenarkan oleh Islam, karena hal itu berarti menerima konsep kepemilikan absolut, yang jelas berlawanan dengan konsep tauhid.
 Selanjutnya, konsep tauhid mengajarkan bahwa Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk  dan semua makhluk tunduk kepadanya. Salah satu makhluk yang diciptakannya adalah manusia yang berasal dari substansi yang sama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama (musawat) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukkan oleh Allah bagi manusia sebagai sumber manfaat ekonomis (QS 6: 142-145), 16: 10-16).
 Di sini tampak jelas konsep persamaan manusia, yang merupakan implikasi dari tauhid. Konsep persamaan manusia, menunjukkan bahwa Islam mengutuk manusia yang berkelas-kelas. Maka, implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam ekonomi, yakni syirkah, qiradh, dan mudharabah (profit and lost sharing). Dokter egalitarian seperti itu, jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang individualistis.
 Meskipun sumber daya yang tersedia untuk manusia adalah pemberian Tuhan dan manusia hanyalah sekedar pihak yang diberi amanah karena pemilik mutlak adalah Allah, hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan kepemilikan pribadi. Islam tetap mangakui kepemilikan pribadi, tetapi tidak bersifat absolut (hakiki), karena pemilik sebenarnya adalah Allah SWT. Manusia hanyalah pemilik relatif.
 Konsep kepemilikan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting yang membawa perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Pertama, bahwa sumber daya di peruntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia (QS. 2:29). Sumber-sumber itu harus digunakan dengan adil untuk kesejahteraan semua orang secara meenyeluruh. Penguasaan konglomerat atas jutaan hektar hutan atau ratusan ribu hektar perkebunan, sehingga terjadi penumpukan asset pada segelintir orang tertentu, bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam.
 Dalam prinsip Islam, kesejahteraan bukan hanya milik seseorang atau keluarga tertentu, tetapi juga untuk orang lain secara menyeluruh. Dengan demikian, seseorang sebagai pengemban amanah, tidak akan menjadi egois, rakus, jahat, dan bekerja untuk kesejahteraan dirinya sendiri.
 Kedua, setiap orang harus memperoleh sumber-sumber daya itu dengan cara yang sah dan halal, bukan hasil kolusi dan cara-cara curang lainnya. Bertindak secara tidak fair adalah melanggar fungsi kekhalifahan manusia.
Keempat, tidak seorang pun berwenang menghancurkan atau memboroskan sumber-sumber daya pemberian Tuhan. Tindakan ini oleh Al Quran disamakan dengan fasad (kerakusan, kejahatan dan korupsi) yang dilarang Tuhan (QS. 2:205). Karena itu ketika Abu Bakar, mengirim Yazid bin Abi Sufyan dalam suatu peperangan, ia melarang Yazid membunuh dengan sembarangan atau merusak kehidupan tumbuh-tumbuhan atau binatang sekalipun di daerah musuh.  
Jika hal ini tidak diizinkan, sekalipun dalam kondisi perang dan di daerah musuh, maka tidak ada alasan untuk mengizinkannya pada saat damai dan di negeri sendiri. Dengan memikian, maka benar-benar tidak dibolehkan menghancurkan dan memusnahkan barang-barang yang telah diproduksi, baik dengan membakar atau membuangnya kelautan, dengan alasan agar harga barang itu tetap tinggi.  keahliannya
(Penulis adalah Sekretaris Jenderal  Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia,  Dosen  Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta, Dosen Pascasarjana Islamic Ecomics  and Finance Universitas Trisakti dan Pascasarjana Universitas Paramadina.

Tidak ada komentar: